Lebih dari 30 judul film animasi Jepang yang elemen latar belakangnya dikerjakan oleh Timeline Studio. Selain Sinchan dan Doraemon, ada serial animasi lainnya yang banyak digandrungi anak-anak, seperti, Prince of Tennis, Fairy Tale, B-Daman, One Piece dan lain-lain.
Tak hanya menerima proyek film animasi dari luar negeri, di dalam negeri pun Timeline sering mendapat tawaran. Misalnya mengerjakan film animasi pendek, iklan-iklan animasi dari produk makanan ringan, video klip musik hingga pengerjaan visual efek sebuah film lokal. Bahkan Timeline juga pernah diajak kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia untuk mengerjakan seri-seri dari animasi Cerita Rakyat Nusantara.
Awalnya…
Timeline Studio berdiri pada tahun 1990. Awalnya, studio ini memang sengaja untuk menangani segala tawaran proyek animasi dari Negeri Sakura. Lambat laun, studio ini tak hanya dilirik oleh industri animasi Jepang, melainkan industri kreatif dalam negeri hingga negara barat seperti Australia.
Namun, Agung Sanjaya salah satu pengagas berdirinya Timeline, masih pesimis dengan perkembangan industri animasi dalam negeri. Ini lantaran kurangnya sumber daya manusia yang bisa siap pakai untuk diterjunkan langsung ke industri animasi.
Padahal, menurutnya, secara umum, industri animasi itu ada di Indonesia. “Sayangnya belum banyak generasi muda yang benar-benar berani dan serius terjun ke dunia industri,” kata Oka.
Serupa dengan Oka, W. Joniartha Siada animator sekaligus pengajar di New Media mengatakan masih sedikit animator Bali yang fokus menggarap film-film animasi sebagai peluang usaha.
“Mereka lebih suka memproduksi animasi dalam bentuk visualisasi untuk kebutuhan sektor industrial. Misalkan visualisasi untuk keperluan properti, tutorial, hingga iklan,” jelas pria yang memiliki usaha animasi Digital Studio.
Agung Sanjaya mengungkapkan keprihatinannya terhadap pendidikan animasi yang diberikan di SMK maupun lembaga edukasi multimedia di Bali. Pria yang kini tengah merintis sebuah sekolah animasi ini menilai banyak lulusan tersebut belum memiliki kemampuan yang diharapkan industri animasi sesungguhnya.
Kemampuan dalam pengaplikasian sebuah ide, teknik pergerakan animasi, editing, hingga teknik drawing pun ditengarai masih lemah. Banyak lulusan tersebut juga belum memikirkan animasi sebagai industri. Mereka hanya menganggap animasi hanya sebatas hobi yang masih dilapisi aneka idealisme.
“Banyak yang saya lihat belum punya etos kerja, tak bisa kerja tim, lemah dalam mempertahankan kualitas dan tak tepat deadline,” ucap pria asal Negara, Jembrana ini.
Maka, Timeline pun hingga saat ini belum berani menambah personil timnya lantaran belum mendapatkan animator yang cocok untuk bekerja secara industri kreatif. Dari awal pendirian hingga sesibuk sekarang, mereka masih tetap bertujuh. “Makanya kami masih keteteran kalau menerima banyak proyek animasi lantaran kekurangan tenaga,” tutup Oka.